Sebelum kemerdekaan
Indonesia
Masa kolonial Belanda
Veldpolitie di Malang (sekitar
1930)
Pada zaman Kerajaan
Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang
disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.[3]
Pada masa kolonial Belanda,
pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang
diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang
Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah
wargaEropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga
keamanan mereka.[4]
Wewenang operasional
kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie
dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia
Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi
lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian),
bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan
administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan
jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hoofd agent (bintara), inspecteur van
politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen
polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana
polisi.
Kepolisian modern Hindia
Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal
dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.[5]
Pada akhir tahun 1920-an atau
permulaan tahun 1930 pendidikan dan jabatan hoofd agent, inspecteur,
dan commisaris van politie dibuka untuk putra-putra pejabat Hindia
Belanda dari kalangan pribumi.
Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini Jepang membagi
wilayah kepolisian Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang
berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi,
Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan
Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.[3]
Tiap-tiap kantor polisi
di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia,
tetapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam
praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.
Awal kemerdekaan
Indonesia
Periode 1945-1950
Tidak lama setelah Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun,
sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktuSoekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian
menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I
(Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada
tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia
sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan
senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat
moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang
dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.[6] Sebelumnya pada
tanggal 19 Agustus 1945dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 29 September 1945
Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi
Kepala Kepolisian Negara (KKN).[7]
Pada awalnya kepolisian
berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan
Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan
masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[8]
Kemudian mulai tanggal 1
Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.[9] Tanggal
1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga
saat ini.
Sebagai bangsa dan
negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas
sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri
menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi
Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk
perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di
Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI
di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet
presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No.
1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil
presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi
fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi
kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang
diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan
Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).[10]
Hasil Konferensi
Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian
Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI
berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No.
22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan
politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa
agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada
menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa
bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada
tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi
kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia.
Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara
sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif,
organisatoris.
Periode 1950-1959
Dengan dibentuknya
negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang
menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri
kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de
Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian
R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI
(DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi
gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini
kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki
organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam
Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri,
sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi
yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma
Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini
memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang
memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai
negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan
perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana
gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya
(mengacu standar PBB).
Masa Orde Lama
Dengan Dekret
Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD
1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945.
Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri
Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli
1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda
Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat
Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian
Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen
Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno
menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan
Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga
profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto
mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga
berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga
15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II
dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang
dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda
Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama
Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961,
DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan
bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan
TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No.
94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri
Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti
menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan
Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)
dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan
negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri
ditentukan sebagai berikut:
Alat Negara Penegak
Hukum.
Koordinator Polsus.
Ikut serta dalam
pertahanan.
Pembinaan Kamtibmas.
Kekaryaan.
Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No.
155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang
dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara pada tahun 1964 dan 1965,
pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI
mulai menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Masa Orde Baru
Karena pengalaman yang
pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar
unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK
Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi
dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan
bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang
masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto
sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto
dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah
kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini
yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal
memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan
Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai
UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak
lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli
1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5
Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf
Angkatan.
Masa Reformasi hingga
sekarang
Sejak bergulirnya
reformasi pemerintahan 1998, terjadi banyak perubahan yang cukup besar,
ditandai dengan jatuhnya pemerintahan orde baru yang kemudian digantikan oleh
pemerintahan reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di tengah
maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam penuntasan reformasi, muncul pada
tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan Polri menjadi lembaga
yang profesional dan mandiri, jauh dari intervensi pihak lain dalam penegakan
hukum.
Sejak 5 Oktober 1998,
muncul perdebatan di sekitar presiden yang menginginkan pemisahan Polri dan
ABRI dalam tubuh Polri sendiri sudah banyak bermunculan aspirasi-aspirasi yang
serupa. Isyarat tersebut kemudian direalisasikan oleh Presiden B.J Habibie melalui
instruksi Presiden No.2 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari
ABRI.
Upacara pemisahan Polri
dari ABRI dilakukan pada tanggal 1 april 1999 di lapangan upacara Mabes ABRI di
Cilangkap, Jakarta Timur. Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan penyerahan
Panji Tribata Polri dari Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Sugiono kepada Sekjen Dephankam Letjen
TNI Fachrul Razi kemudian diberikan kepada Kapolri Jenderal Pol
(Purn.) Roesmanhadi.
Maka sejak tanggal 1
April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun kemudian, keluarlah TAP
MPR No. VI/2000 serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan
peran POLRI, kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara langsung dan
segera melakukan reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat dan
professional.[11] Pemisahan ini pun dikuatkan melalui amendemen Undang-Undang
Dasar 1945 ke-2 yang dimana Polri bertanggungjawab dalam keamanan dan
ketertiban sedangkan TNI bertanggungjawab dalam bidang pertahanan. Pada tanggal
8 Januari 2002, diundangkanlah UU no. 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Republik
Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Isi dari Undang Undang
tersebut selain pemisahan tersebut, Kapolri bertanggungjawab langsung pada
Presiden dibanding sebelumnya di bawah Panglima ABRI, pengangkatan Kapolri yang
harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, dibentuknya Komisi
Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih
Kapolri. Kemudian Polri dilarang terlibat dalam politik praktis serta
dihilangkan hak pilih dan dipilih, harus tunduk dalam peradilan umum dari
sebelumnya melalui peradilan militer. Internal kepolisian sendiri pun memulai
reformasi internal dengan dilakukan demiliterisasi Kepolisian dengan
menghilangkan corak militer dari Polri, perubahan paradigma angkatan perang
menjadi institusi sipil penegak hukum profesional, penerapan paradigma Hak
Asasi Manusia, penarikan Fraksi ABRI (termasuk Polri) dari DPR, perubahan
doktrin, pelatihan dan tanda kepangkatan Polri yang sebelumnya sama dengan TNI,
dan lainnya. Reorganisasi Polri pasca reformasi diatur dalam Perpres no. 52
tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Republik
Indonesia.
Selain Kepolisian, pada
masa Reformasi juga banyak dibentuk lembaga baru yang bertugas untuk penegakan
hukum dan pembuatan kebijakan keamanan seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (2002), Badan Narkotika Nasional (2009), Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (2010), Badan Keamanan Laut (2014).
Perwira aktif Polri dapat menjabat dalam lembaga ini, baik menjadi penyidik,
pejabat struktural sampai pimpinan. Lembaga-lembaga ini nantinya berkoordinasi
dengan Polri sesuai tugas dan tanggungjawabnya.
Selain dari paradigma
dan organisasi, sampai saat ini polisi pun berbenah perlahan-lahan
mendisiplinkan dan meningkatkan integritas anggotanya. Mengingat pada masa
reformasi tidak sedikit anggota Kepolisian yang terungkap ke publik melanggar
kode etik profesi bahkan terjerat hukum seperti korupsi, suap, rekening gendut,
narkoba, dll. Selain kasus hukum, saling serang antara anggota Polri dan TNI
dilapangan dan ketegangan antar lembaga penegak hukum masih mewarnai perjalanan
reformasi Kepolisan.