Minggu, 24 Januari 2021

Media Dan Budaya

                Media dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena sejatinya mereka memiliki suatu hubungan yang saling mempengaruhi. Budaya memiliki dua pengertian dalam pembahasaan ini. Budaya bisa diartikan sebagai konten yang diproduksi oleh media. Selain itu budaya dalam kajian “media dan budaya” juga bisa diartikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

                Media dan budaya merupakan kajian yang memiliki daya tarik tersendiri. Daya tarik dari kajian ini terletak pada bagaimana media tersebut mempengaruhi budaya begitu juga sebaliknya bagaimana budaya mempengaruhi media dalam memproduksi kontennya. Dalam kajian ini terdapat beberapa tema-tema besar dari teori media-budaya, yaitu :

 

      I.         The Question of Quality

 

Perkembangan media massa yang begitu cepat akan berkorelasi dengan budaya yang ada di masyarakat. Kebanyakan peneliti dan ilmuan berpendapat bahwa perkembangan media massa memberikan efek negatif kepada budaya yang ada di masyarakat.

Efek negatif yang muncul berupa memudarnya nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat saat ini. Selain itu pudarnya nilai-nilai yang ada diperparah dengan munculnya nilai-nilai budaya baru, dimana masyarakat nantinya akan mengadopsinya yang berakibat terhapusnya identitas budaya asli. Dengan kata lain masyarakat memiliki dan menggunakan budaya palsu.

Banyaknya budaya baru yang diadopsi oleh masyarkat menimbulkan sutau pertanyaan apakah budaya tersebut lebih bagus dari budaya yang sudah ada. Jawaban untuk pertanyaan ini tentu saja tidak ada yang absolut benar, karena sejatinya merupakan pertanyaan yang bersifat subyektif. Selain itu, mana budaya yag lebih bagus bergantung kepada frame of reference masing-masing pihak yang memiliki budaya.

Contoh kasus yang bisa kita ambil adalah munculnya tren minum kopi di kafe sebagai suatu gaya hidup. Padahal dahulunya kopi sering diidentikkan dengan warung kopi dan hanya bapak-bapak yang mengkonsumsinya. Akan tetapi, ketika media masssa mencoba mengangkat fenomena ngopi di kafe, sebagai sesuatu yang bagus dan prestis. Maka baik secara langsung atau perlahan-lahan, publik akan mengadopsi budaya ini, tanpa kita pernah tahu mana yang lebih bagus.

 

              II.         Communication Technology Effects

 

Kemajuan teknologi berkembang begitu cepat dan pesat belakangan ini, dimana kemajuan ini dibarengi dengan kecepatan dalam proses penyampain dan penerimaan informasi. Sehingga tidaklah mengherankan ketika muncul suatu era yang diberi nama era informasi.

Perubahan teknologi tidak berdampak langsung kepada budaya, akan tetapi pengaruh ini diperantarai oleh media massa. Pengaruh ini menimbulkan suatu bias media yang terdiri dari lima bias yaitu :

 

1.       Bias terhadap pengalaman inderawi

2.       Bias bentuk

3.       Bias konten

4.       Bias konteks penggunaan

5.       Bias hubungan

Proses perkembangan teknologi dan komunikasi mempengaruhi budaya bisa dijelaskan sebagai satu proses yang diawali oleh adanya ide dan penerapan teknologi baru terhadap teknologi lama. Kemudian diikuti dengan perubahan penggunaan teknologi lama yang berakibat munculnya pola penggunaa teknologi baru. Perubahan ini diikuti dengan adaptasi dari lembaga komunikasi yang menstimulus lahirnya budaya dan makna baru secara berkelanjutan.

 

            III.         Commodification Of Cultures

 

Tema ini merupakan hasil dari pemikiran kaum Marxism yang mencoba mengkritisi media sebagai suatu industri yang menghasilkan kesadaran palsu pada kelas pekerja. Sehingga lahir teori komodifikasi yang menyebutkan bahwa objek dikomodifikasi dengan memperoleh nilai tukar, daripada hanya memiliki nilai guna secara intrinsik (McQuail, 2011). Jadi, dalam memproduksi produknya media massa menggunakan produk budaya untuk menambahkan nilai jual.

Komodifikasi budaya biasanya digunakan dalam proses produksi media massa dalam momen-momen tertentu. Misalnya ketika umat muslim di Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri, maka banyak produsen-produsen iklan yang beriklan media massa menggunakan atribut Idul Fitri dalam mempromosikan produknya.

 

      IV.         Globalization

 

Perkembangan teknologi, globalisasi, dan budaya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketika terjadi perkembangan teknologi seperti saat ini, maka akan terjadi globalisasi informasi secara besar-besar diantara publik diseluruh dunia, yang diikuti dengan perubahan budaya. Globalisasi dapat mempengaruhi budaya secara langsung maupun tidak langsung.

Pengaruh ini diawali dengan adanya pertukaran budaya antar negara diberbagai belahan dunia secara cepat dan massal, yang kemudian dimodifikasi bahkan diadaptasi secara langsung oleh salah satu negara.

Contoh dari globalisasi media massa adalah dengan adanya tanyangan televisi berbayar dimana kita memungkinkan menonton siaran televisi dari negara  lain seperti Star World secara langsung di negara kita. Sedikit ataupun banyak, secara langsung ataupun tidak langsung nilai-nilai budaya yang ditampilkan dalam konten media massa tersebut akan mempengaruhi kita sebagai negara yang mengimpor.

 

Sehingga kemudian muncullah asumsi bahwa globalisasi akan berpengaruh terhadap budaya terutama dalam pengadopsian nilai-nilai oleh negara yang mengimpor konten dari negara pengekspor. Akan tetapi tidak selamanya negara pengekspor yang mempengaruhi budaya importir. Hal sebaliknya juga bisa terjadi kepada negara eksportir, karena mereka berusaha untuk mengadopsi budaya importir untuk diangkat sebagai konten. Sehingga negara importir mau membeli konten yang sudah diproduksi.

 

V.         Policy For Cultural Diversity

 

Globalisasi yang tidak bisa dibendung di era informasi sperti ini akan menimbulkan suatu dampak biasnya budaya yang ada didalam masyarakat. Maksudnya adalah tidak adanya pembatas yang nyata antara suatu budaya dengan budaya lain ditengah keberagaman yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang bisa mencegah memudarnya garis-garis batas antara budaya.

 

VI.         Cultural Identity

 

Media massa sebagai suatu industri yang memproduksi budaya secara massal, ditakutkan akan menimbulkan kerancuan budaya, dalam artian hilangnya batas-batas tegas yang menjadi pagar bagi identitas masing-masing budaya. Efek ini tentu saja merupakan salah satu efek yang ditakutkan dari media massa. Oleh karena itu, diharapkan media dapat membantu mengurangi efek ini, dengan membantu mensosiaslisasikan batas-batas budaya tersebut.

 

VII.         Gender Ad Subculture,

 

Pendiskriminasian yang ada didalam publik tidak jarang merupakan hasil konstruksi dari media. Pendiskriminasian bisa berdasarkan agama, ras, gender, dan lain-lain. Efek pendiskriminasian ini bisa dirasakan secara nyata ataupun eksplisit oleh publik.

 

Misalnya adalah pendiskriminasian gender yang dilakukan oleh media massa, dengan cara menampilkan atau memproduksi konten-konten yang berhubungan dengan bias gender. Contoh konkrit adalah program acara masak-masak yang sekarang didominasi oleh pria sebagai chef. Disini media massa mencoba mengkonstruksi bahwa urusan masak memasak tidak melulu urusan perempuan, karena laki-laki pun banyak yang jago memasak.

 

VIII.         Ideology And Hegemony

 

Ideologi dan hegemoni merupakan bagian terpenting dari suatu budaya. Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki ideologi masing-masing. Kemudian timbul suatu pertanyaan bagaimana media massa menghasilkan suatu produk yang bisa memayungi atau menyatukan berbagai macam ideologi agar tercipta suatu hegemoni?. Agar tercipta suatu produk yang bisa merangkul semua ideologi ini tentu saja media massa harus memproduksi produk-produk yang bersifat universal, sehingga bisa diterima oleh semua publik.


Senin, 11 Januari 2021

Mobil Listrik benar-benar amankah untuk lingkungan?

Sejumlah negara termasuk Indonesia mulai memberikan target persentase jumlah mobil listrik yang akan melaju di jalanan negara mereka dalam beberapa tahun ke depan. Termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia saat ini sedang membahas regulasi mengenai mobil listrik ini, agar di 2025 populasi mobil listrik akan mencapai 20 persen di Indonesia. Misal aturan bea masuk, aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), hingga perpajakannya.

Pemerintah beranggapan, hadirnya mobil listrik bisa mengurangi polusi udara akibat emisi gas buang. Sehingga, udara menjadi lebih bersih. Sejumlah negara maju memang telah memulai untuk meninggalkan mobil berbahan bakar fosil, seperti BBM ke listrik. Hal ini misal dilakukan pemerintah Inggris dan Perancis yang akan melarang mobil non-listrik di 2040.

Sekadar informasi, Para konsumen mulai meminati mobil listrik ketika Musk membanderol Model 3 Tesla seharga 35.000 dollar AS. Sementara Cheverolet menjual Bolt seharga 37.500 dollar AS, mobil listrik yang bisa melaju 200 mil sekali charge. Setelah itu, banyak negara tertarik mengembangkan mobil listrik. Misalnya saja Jerman. Negara produsen mobil terbesar di Eropa tersebut pada April 2016 mengumumkan insentif sebesar 1,4 miliar dollar AS, untuk pengembangan mobil listrik. Seperempat dari dana tersebut juga digunakan untuk subsidi kredit mobil listrik sebesar 7.500 dollar AS per konsumen. Pertanyaannya, apakah mobil listrik benar-benar ramah lingkungan seperti yang diperkirakan? Mari kita telaah.

Mengutip tulisan Zainab Calcuttawala di Oilprice.com, mitos ramah lingkungan yang disematkan ke mobil listrik masih bisa diperdebatkan dari berbagai sisi. Menurut dia, langkah menuju mobil listrik belum menyelesaikan masalah polusi di sektor transportasi. Pasalnya, mobil listrik perlu baterai tahan lama yang harus diekstraksi dari mineral langka di bumi. Belum lagi, ke depan akan banyak penggunaan baterai lithium-ion yang sampahnya bisa saja meracuni bumi jika tidak dilakukan daur ulang. Isu lain, yakni soal energi listrik untuk memberikan tenaga pada baterai untuk menggerakan mobil. Sumber listrik yang ramah lingkungan sendiri masih menjadi pekerjaan rumah terbesar untuk dipenuhi saat ini.

1. Baterai Mobil listrik haruslah ringan, oleh sebab itu baterainya juga harus ringan. Untuk itu, dipakailah lithium-ion yang ditemukan pada 1817. Namun penggunaan lithium sendiri sebenarnya jumlahnya terbatas, dan saat ini ditambang di Amerika Serikat (AS), Chile dan Australia.

2. Listrik Jika listrik untuk memberikan daya ke baterai bukan berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan, maka hasilnya konsumsi bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik meningkat konsumsinya. Hal ini terjadi di AS, kecuali di negara bagian California. Di Indonesia, pembangkit listrik juga masih banyak mengandalkan batu bara sebagai sumber energi fosil dan tidak terbarukan.

3. Daur Ulang Apakah sampah baterai bisa didaur ulang? Bahkan pabrikan mobil listrik besar seperti Tesla milik Elon Musk pun baru bisa sekadar berjanji. Padahal, isi baterai merupakan mineral langka yang sudah didaur ulang sehingga tidak akan ekonomis jika didaur ulang.

Walaupun begitu, sejumlah pihak mendebat bahwa daur ulang penggunaan bahan baku metal serta mineral langka tetap bisa menjaga bumi agar lebih bersih. Penasehat mobil listrik Chelsea Sexton mengatakan kepada Wired, bahwa semakin banyak produk transportasi menggunakan listrik, pasti akan ditemukan cara untuk melakukan daur ulang baterainya. Hal itu mungkin ada benarnya juga, tapi bisa juga masih butuh waktu yang lama. Namun Anda bisa berfikir, apakah mobil listrik benar-benar ramah lingkungan? Pemerintah Indonesia saat ini tidak sekadar menciptakan demand untuk mobil listrik hingga 2025 mendatang dengan sederet regulasi yang akan tampil. Pemerintah sepertinya lebih mendorong penggunaan listrik kepada masyarakat, sebagai upaya untuk meminimalisir penggunaan gas LPG 3 kilogram. Berdasarkan siaran pers Kementerian ESDM yang diterima Kompas.com pada 8 November 2017, pemerintah melalui Kementerian ESDM berencana untuk memasyarakatkan kompor listrik atau kompor induksi. Menurut kajian pemerintah, biaya menggunakan kompor listrik akan lebih hemat hingga 60 persen dibanding menggunakan LPG 3 Kilogram, yang saat ini subsidinya semakin membengkak.

Namun pertanyaannya, sumber listrik dengan program 35.000 Mega Watt mengapa masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, baik untuk mobil, maupun untuk kompor. Apakah kemudian pemerintah akan mempertimbangkan penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan akan listrik yang besar jika demand sudah tercipta?

Mobil Listrik VS Mobil Bensin: Mana yang Lebih Baik untuk kedepannya?

Sejak beberapa minggu terakhir ini, Indonesia cukup diramaikan oleh kondisi polusi udara di Jakarta yang dikatakan memburuk. Bahkan kondisi udaranya sudah mencapai taraf tidak sehat untuk dihirup. Tentu ada banyak faktor yang menjadi penyebab. Namun, menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Saifudin, besarnya tingkat penggunaan kendaraan bermotor menjadi sumber utama pencemaran udara, bahkan kisarannya sampai 47% sampai 90%.

Apabila tidak diambil langkah konkret, bukan tidak mungkin polusi udara yang buruk juga terjadi di kota-kota lain. Sebagai salah satu solusi, terutama yang terkait pengurangan kendaraan bermotor, pengembangan mobil listrik pun dilakukan.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sudah merancang roadmap untuk pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Ditargetkan pada 2020 nanti, setidaknya ada 10% dari 1,5 juta mobil yang diproduksi di dalam negeri merupakan Low Carbon Emission Vehicle (LCEV). Namun, adaptasi hal-hal baru sudah sewajarnya menimbulkan pertanyaan. Beberapa dari Anda mungkin bertanya-tanya, apakah nantinya Anda juga harus berpindah menggunakan mobil listrik atau tetap mobil bensin? Cek ulasannya di bawah ini!
Cara kerja mobil listrik vs mobil bensin
Sesuai namanya, mobil bensin menggunakan bahan bakar minyak (BBM) atau bensin sebagai penggerak utama mobil. BBM dipasok ke dalam mesin untuk melalui proses pembakaran. Dari proses pembakaran ini, akan dihasilkan energi untuk menggerakkan piston. Piston melakukan gerakan linear yang ditransfer menjadi gerakan putar dengan menerapkan mekanisme slider crank. Baru setelah itu terdapat transmisi untuk mentransfer gerakan putar ke roda penggerak.
Cara kerja mobil bensin tersebut tentunya berbeda dengan mobil listrik. Namun, sebelum membahas cara kerja mobil listrik, perlu diketahui bahwa mobil listrik berbeda dengan mobil hybrid. Bisa dikatakan bahwa mobil hybrid merupakan “jembatan” antara mobil bensin atau konvensional dengan mobill listrik.
Jadi, mobil hybrid memadukan mesin mobil bensin dan energi listrik yang didapatkan dari baterai. Saat mobil melaju dan mengerem, energi kinetik diubah menjadi listrik yang disimpan di baterai. Ketika berjalan normal, mobil hybrid menggunakan tenaga bensin. Lalu saat diam, awal melaju, atau sudah melaju pelan, barulah mobil menggunakan tenaga listrik. Sedangkan saat melaju pada kecepatan agak tinggi, mobil menggunakan perpaduan tenaga bensin dan tenaga dari motor listrik.
Sementara itu, sumber energi mobil listrik berasal dari baterai. Pada mobil listrik, terdapat teknologi inverter yang bertugas mengubah daya baterai DC menjadi tiga fase AC. Nah, ketiga fase AC inilah yang akan mengubah motor induksi sehingga bisa mengaktifkan roda penggerak.
Efisiensi daya
Lalu, dengan cara kerja yang seperti itu, bagaimana daya yang dihasilkan oleh mobil bensin dan mobil listrik? Terkait efisiensi daya, bisa dibilang mobil listrik yang menjadi juaranya. Ini karena mobil listrik tidak membutuhkan transmisi yang kompleks. Kecepatannya pun bisa langsung dikontrol dari motor. Tidak hanya itu, mobil listrik juga menghasilkan torsi yang besar walaupun baru dihidupkan mengingat responnya yang cukup cepat.
Namun, tidak begitu halnya dengan mobil bensin yang mesin pembakaran dalamnya tidak bisa dioperasikan jika melebihi tingkat kecepatan tertentu. Jadi, untuk mengontrol kecepatannya, mobil bensin membutuhkan mekanisme transisi yang cukup kompleks. Adanya mesin pembakaran dalam juga akan menimbulkan kesulitan pada rotasi per menit (RPM) yang rendah. Saat mesin mobil dihidupkan, motor DC diperlukan untuk membawa mesin ke RPM yang optimal.
Pengeluaran biaya
Beberapa dari Anda mungkin berpikir bahwa penggunaan mobil listrik membutuhkan biaya yang lebih mahal dari mobil bensin. Padahal, kenyataannya tidak begitu. Hal ini bahkan sudah dibuktikan sendiri oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM. Hasilnya menunjukkan bahwa mobil listrik cenderung lebih efisien jika dibandingkan dengan mobil bensin. Anda bahkan bisa menghemat hingga 50%.
Katakanlah mobil bensin menghabiskan 1 liter bensin setiap 10 km. Apabila menggunakan BBM non subsidi seharga kurang lebih Rp8.500 per liter, maka untuk jarak tempuh 100 km membutuhkan biaya energi sebesar Rp85.000. Sedangkan, mobil listrik idealnya mampu menempuh jarak 100 km hanya dengan daya sebesar 20 kWh. Apabila tarif listrik non subsidi sekitar Rp1.600 per kWh, maka mobil listrik hanya membutuhkan biaya energi sekitar Rp32.000 untuk jarak tempuh 100 km.
Dampak terhadap lingkungan
Saat melakukan pertimbangan antara mobil bensin atau listrik, penting juga untuk memikirkan dampak pemakaiannya terhadap lingkungan. Untuk hal ini, bisa dibilang mobil listrik lebih unggul. Emisi gas buang mobil bensin mengandung hidrokarbon (HC) dan karbon monoksida (CO) yang dampaknya cukup buruk terhadap udara. Kabar baiknya, dengan beralih menggunakan motor listrik, Anda bisa membantu mengurangi emisi karbon di bumi melalui sektor transportasi.
Tidak hanya membantu mengurangi polusi udara, mobil listrik juga bisa membantu menurunkan polusi suara. Jika dibandingkan dengan mobil bensin yang ketika dijalankan biasanya mengeluarkan suara mesin, umumnya mobil listrik tidak mengeluarkan suara saat dijalankan.
Perawatan mobil
Salah satu hal yang dikhawatirkan banyak orang terkait penggunaan mobil listrik adalah pengisian daya. Apalagi jika harus melakukan perjalanan cukup jauh, bagaimana apabila di tengah jalan Anda kehabisan baterai? Belum lagi perawatan yang terkesan rumit karena mesin mengandalkan daya baterai.
Terkait perawatan, sebetulnya mobil listrik justru cenderung lebih mudah dirawat daripada mobil konvensional. Servis secara berkala tetap sangat dianjurkan. Namun, Anda tidak perlu repot-repot melakukan penggantian oli atau busi. Anda hanya perlu memperhatikan baterai sebagai sumber energi utama mobil listrik. Sayangnya, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini memang produsen energi untuk mobil listrik belum banyak tersedia di Indonesia. Kalau pun ada, biasanya hanya di kota-kota besar.
Namun, Anda tidak perlu khawatir akan hal ini, begitu juga terkait pengisian daya listrik di tengah perjalanan. Mengingat bahwa pemerintah Indonesia memberi perhatian kepada pengembangan mobil listrik, ditargetkan pada 2035 nanti, ada 30% LCEV dari total empat juta mobil yang diproduksi dalam negeri. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah juga berencana untuk membangun power station di seluruh penjuru Indonesia. Dengan begitu, Anda dan seluruh masyarakat Indonesia lain pun bisa beralih menggunakan mobil listrik dengan kenyamanan maksimal.
Jadi, mana yang lebih pas untuk Anda, mobil bensin konvensional atau mobil listrik? Saat ini memang pengembangan mobil listrik di Indonesia belum maksimal, sehingga power station untuk mengisi daya baterai pada mobil listrik juga belum banyak tersedia. Wajar apabila banyak dari Anda yang masih cenderung memilih mobil bensin untuk mobilitas sehari-hari.
Namun, pikirkan juga dampak jangka panjangnya. Penggunaan mobil bensin menghasilkan emisi karbon yang bisa memperparah kondisi udara. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin anak cucu kita nanti lah yang akan menjadi korbannya. Oleh sebab itu, beralih ke mobil listrik bisa menjadi salah satu cara untuk meminimalisir dampak tersebut. Dengan dukungan pemerintah, bersama kita pasti bisa memperbaiki lingkungan!

Perbedaan Autopilot dan Autonomous pada Mobil

Berbicara konsep mobil dengan teknologi tinggi tentunya kita mengacu pada produsen mobil listrik Tesla. Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi keunggulan dari mobil listrik dengan teknologi paling canggih saat ini, salah satunya adalah teknologi Autopilot. Namun demikian, banyak di antara kita yang masih mengira bahwa mobil dengan teknologi autopilot sama dengan mobil tanpa awak alias autonomous. Padahal berbeda lho, jika kamu belum mengetahui perbedaaan antara teknologi autopilot dan autonomous, berikut beberapa perbedaanya yang berhasil Garasi.id rangkum.

Teknologi Kendaraan

Salah satu perbedaan yang mendasar adalah pada konsep kendaraan masing-masing. Mobil autopilot mengusung konsep self-driving. Konsep mobil autopilot yang diusung Tesla Model X pada dasarnya mirip dengan konsep autopilot pada pesawat terbang. Sedangkan mobil autonomous mengusung konsep driver-less alias benar-benar tanpa awak.

Sistem Kemudi

Perbedaan konsep yang telah diusung kedua jenis kendaraan tadi, juga ternyata mempengaruhi kemudinya. Tidak seperti mobil Autonomous yang memiliki konsep kemudi driver-less, untuk jenis mobil autopilot masih mengusung konsep self-driving. Artinya keberadaan pengemudi masih diperlukan untuk menghidupkan dan mematikan kendaraan.

Pada konsep mobil autopilot, pengemudi diperlukan selain untuk menghidupkan dan mematikan mesin juga diperlukan andai terjadi kondisi darurat seperti sensor yang tiba-tiba mati. Nah untuk mobil autonomous, seperti benar-benar tidak membutuhkan lagi adanya pengemudi. Mobil jenis autonomous dikendalikan dari jarak jauh untuk mengendalikan semua sistem di mobil tersebut.

Sensor Mobil

Untuk mobil dengan teknologi autopilot, mobil tersebut menggunakan jenis sensor kamera berspesifikasi tinggi yang berfungsi untuk menggantikan mata pengemudi dalam melihat jalan dan objek di sekitarnya. Sensor tersebut akan bereaksi untuk melakukan pengereman, menambah kecepatan atau menghindari sebuah objek selama berkendara.

Berbeda dengan teknologi autonomous dimana jenis sensor yang digunakannya adalah LIDAR (light-sense radar). Sensor tersebut bekerja dengan menembakkan dan menangkap kembali pantulan sinar laser terhadap objek sekitarnya.

Tingkat Keamanan dan Risikonya

Pada mobil yang mengusung teknologi autonomous, tingkat keamanannya hingga saat ini masih dalam pengembangan. Hal itu dikarenakan beberapa waktu lalu ketika melakukan pengujian ada beberapa permasalahan seperti manuver yang tidak sesuai kebutuhan dan permasalahan pada software. 

Sedangkan untuk mobil yang menggunakan teknologi autopilot, teknologi tersebut diklaim sudah memenuhi standar dan siap untuk digunakan oleh masyarakat dunia tergolong rendah.