Sejumlah negara termasuk Indonesia mulai memberikan target persentase jumlah mobil listrik yang akan melaju di jalanan negara mereka dalam beberapa tahun ke depan. Termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia saat ini sedang membahas regulasi mengenai mobil listrik ini, agar di 2025 populasi mobil listrik akan mencapai 20 persen di Indonesia. Misal aturan bea masuk, aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), hingga perpajakannya.
Pemerintah beranggapan, hadirnya
mobil listrik bisa mengurangi polusi udara akibat emisi gas buang. Sehingga,
udara menjadi lebih bersih. Sejumlah negara maju memang telah memulai untuk
meninggalkan mobil berbahan bakar fosil, seperti BBM ke listrik. Hal ini misal
dilakukan pemerintah Inggris dan Perancis yang akan melarang mobil non-listrik
di 2040.
Sekadar informasi, Para konsumen
mulai meminati mobil listrik ketika Musk membanderol Model 3 Tesla seharga
35.000 dollar AS. Sementara Cheverolet menjual Bolt seharga 37.500 dollar AS,
mobil listrik yang bisa melaju 200 mil sekali charge. Setelah itu, banyak
negara tertarik mengembangkan mobil listrik. Misalnya saja Jerman. Negara
produsen mobil terbesar di Eropa tersebut pada April 2016 mengumumkan insentif
sebesar 1,4 miliar dollar AS, untuk pengembangan mobil listrik. Seperempat dari
dana tersebut juga digunakan untuk subsidi kredit mobil listrik sebesar 7.500
dollar AS per konsumen. Pertanyaannya, apakah mobil listrik benar-benar ramah
lingkungan seperti yang diperkirakan? Mari kita telaah.
Mengutip tulisan Zainab
Calcuttawala di Oilprice.com, mitos ramah lingkungan yang disematkan ke mobil
listrik masih bisa diperdebatkan dari berbagai sisi. Menurut dia, langkah
menuju mobil listrik belum menyelesaikan masalah polusi di sektor transportasi.
Pasalnya, mobil listrik perlu baterai tahan lama yang harus diekstraksi dari
mineral langka di bumi. Belum lagi, ke depan akan banyak penggunaan baterai
lithium-ion yang sampahnya bisa saja meracuni bumi jika tidak dilakukan daur
ulang. Isu lain, yakni soal energi listrik untuk memberikan tenaga pada baterai
untuk menggerakan mobil. Sumber listrik yang ramah lingkungan sendiri masih
menjadi pekerjaan rumah terbesar untuk dipenuhi saat ini.
1. Baterai Mobil listrik haruslah
ringan, oleh sebab itu baterainya juga harus ringan. Untuk itu, dipakailah
lithium-ion yang ditemukan pada 1817. Namun penggunaan lithium sendiri
sebenarnya jumlahnya terbatas, dan saat ini ditambang di Amerika Serikat (AS),
Chile dan Australia.
2. Listrik Jika listrik untuk
memberikan daya ke baterai bukan berasal dari pembangkit listrik energi
terbarukan, maka hasilnya konsumsi bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik
meningkat konsumsinya. Hal ini terjadi di AS, kecuali di negara bagian
California. Di Indonesia, pembangkit listrik juga masih banyak mengandalkan
batu bara sebagai sumber energi fosil dan tidak terbarukan.
3. Daur Ulang Apakah sampah
baterai bisa didaur ulang? Bahkan pabrikan mobil listrik besar seperti Tesla
milik Elon Musk pun baru bisa sekadar berjanji. Padahal, isi baterai merupakan
mineral langka yang sudah didaur ulang sehingga tidak akan ekonomis jika didaur
ulang.
Walaupun begitu, sejumlah pihak
mendebat bahwa daur ulang penggunaan bahan baku metal serta mineral langka
tetap bisa menjaga bumi agar lebih bersih. Penasehat mobil listrik Chelsea
Sexton mengatakan kepada Wired, bahwa semakin banyak produk transportasi
menggunakan listrik, pasti akan ditemukan cara untuk melakukan daur ulang
baterainya. Hal itu mungkin ada benarnya juga, tapi bisa juga masih butuh waktu
yang lama. Namun Anda bisa berfikir, apakah mobil listrik benar-benar ramah
lingkungan? Pemerintah Indonesia saat ini tidak sekadar menciptakan demand
untuk mobil listrik hingga 2025 mendatang dengan sederet regulasi yang akan
tampil. Pemerintah sepertinya lebih mendorong penggunaan listrik kepada
masyarakat, sebagai upaya untuk meminimalisir penggunaan gas LPG 3 kilogram. Berdasarkan
siaran pers Kementerian ESDM yang diterima Kompas.com pada 8 November 2017,
pemerintah melalui Kementerian ESDM berencana untuk memasyarakatkan kompor
listrik atau kompor induksi. Menurut kajian pemerintah, biaya menggunakan
kompor listrik akan lebih hemat hingga 60 persen dibanding menggunakan LPG 3
Kilogram, yang saat ini subsidinya semakin membengkak.
Namun pertanyaannya, sumber
listrik dengan program 35.000 Mega Watt mengapa masih menjadi pekerjaan rumah
yang belum terselesaikan, baik untuk mobil, maupun untuk kompor. Apakah
kemudian pemerintah akan mempertimbangkan penggunaan pembangkit listrik tenaga
nuklir untuk memenuhi kebutuhan akan listrik yang besar jika demand sudah
tercipta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar