Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia,
yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas
kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polri dipimpin oleh
seorang Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri). Sejak 13 Juli 2016 jabatan Kapolri
dipegang oleh Jenderal Polisi Tito
Karnavian.
Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia
Sebelum
kemerdekaan Indonesia
Masa kolonial Belanda
Veldpolitie di Malang (sekitar
1930)
Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk
pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas
melindungi raja dan kerajaan.
Pada masa kolonial Belanda,
pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang
diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang
Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun
1867 sejumlah warga Eropa di Semarang,
merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka.
Wewenang operasional kepolisian ada pada
residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada
procureur generaal (jaksa agung). Pada masa
Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie
(polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi
pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu
itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan
pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hoofd agent (bintara), inspecteur
van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen
polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana
polisi.
Kepolisian modern Hindia
Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan
cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.
Pada akhir tahun 1920-an atau
permulaan tahun 1930 pendidikan
dan jabatan hoofd agent, inspecteur, dan commisaris van politie dibuka
untuk putra-putra pejabat Hindia
Belanda dari kalangan pribumi.
Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini Jepang membagi
wilayah kepolisian Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang
berpusat di Jakarta,
Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi,
Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan
Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah
meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tetapi
selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik
lebih berkuasa dari kepala polisi.
Awal
kemerdekaan Indonesia
Periode 1945-1950[
Tidak
lama setelah Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi
tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian
menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi
Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945
memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang
dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara
Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik
seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan
kekalahan perang yang panjang. Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus1945 dibentuk Badan
Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik
R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi
Kepala Kepolisian Negara (KKN).
Pada awalnya kepolisian berada dalam
lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan
nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi,
sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan
Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung
jawab langsung kepada Perdana
Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai
Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Sebagai bangsa dan negara yang berjuang
mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai penegak hukum
juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant”
yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile
Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal
dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera
Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada
tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan
bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan
sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri
Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di
seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr.
Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian
dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).
Hasil Konferensi Meja Bundar antara
Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S.
Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto
diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950
dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional
berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam
hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum
dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni
1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian
negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam
peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara
sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif,
organisatoris.
Periode 1950-1959
Dengan
dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke
Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der
Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S.
Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI
(DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi
gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus
tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji
tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik
Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri,
sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi
yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma
Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan
pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi
di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di
bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan
berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif
lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Masa Orde
Lama
Dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959, setelah
kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945,
namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan
Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih
tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959,
tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri
Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres
No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri
Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama
No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi
Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari
Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan
membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S.
Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme
kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri
setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier
Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun
1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara.
Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan
selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya
dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan
UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri
sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri
Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung,
Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang
pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala
Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi
menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung
bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan
Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan
sebagai berikut:
1.
Alat
Negara Penegak Hukum.
2.
Koordinator
Polsus.
3.
Ikut
serta dalam pertahanan.
4.
Pembinaan
Kamtibmas.
5.
Kekaryaan.
6.
Sebagai
alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal
6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama
satu tahun di Magelang. Sementara pada tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI
bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai
menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Masa Orde
Baru
Karena pengalaman yang pahit dari
peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur
ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No.
132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur
Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari
organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing
dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas
dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai
Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai
presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M.
Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya
sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan
angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No.
52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No.
13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN
tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969
sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan.
Masa
Reformasi
Sejak
bergulirnya reformasi pemerintahan 1998, terjadi banyak perubahan yang cukup
besar, ditandai dengan jatuhnya pemerintahan orde baru yang kemudian digantikan
oleh pemerintahan reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di tengah
maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam penuntasan reformasi, muncul pada
tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan Polri menjadi lembaga
yang profesional dan mandiri, jauh dari intervensi pihak lain dalam penegakan
hukum.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan
di sekitar presiden yang menginginkan pemisahan Polri dan ABRI dalam tubuh
Polri sendiri sudah banyak bermunculan aspirasi-aspirasi yang serupa. Isyarat
tersebut kemudian direalisasikan oleh Presiden B.J Habibie melalui
instruksi Presiden No.2 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari
ABRI.
Upacara pemisahan Polri dari ABRI dilakukan
pada tanggal 1 april 1999 di lapangan upacara Mabes ABRI di Cilangkap, Jakarta
Timur. Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan penyerahan Panji Tribata
Polri dari Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Sugiono kepada Sekjen Dephankam Letjen TNI Fachrul Razi kemudian
diberikan kepada Kapolri Jenderal Pol (Purn.) Roesmanhadi.
Maka sejak tanggal 1 April, Polri
ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun kemudian, keluarlah TAP MPR No. VI/2000
serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI,
kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara langsung dan segera melakukan
reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat dan professional.[11] Pemisahan
ini pun dikuatkan melalui amendemen Undang-Undang
Dasar 1945 ke-2 yang dimana Polri bertanggungjawab dalam
keamanan dan ketertiban sedangkan TNI bertanggungjawab dalam bidang pertahanan.
Pada tanggal 8 Januari 2002, diundangkanlah UU no. 2 tahun 2002 mengenai
Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Isi dari Undang Undang tersebut selain
pemisahan tersebut, Kapolri bertanggungjawab langsung pada Presiden dibanding
sebelumnya dibawah Panglima ABRI, pengangkatan Kapolri yang harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat,
dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional untuk
membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih Kapolri. Kemudian Polri
dilarang terlibat dalam politik praktis serta dihilangkan hak pilih dan
dipilih, harus tunduk dalam peradilan umum dari sebelumnya melalui peradilan
militer. Internal kepolisian sendiri pun memulai reformasi internal dengan
dilakukan demiliterisasi Kepolisian dengan menghilangkan corak militer dari
Polri, perubahan paradigma angkatan perang menjadi institusi sipil penegak
hukum profesional, penerapan paradigma Hak Asasi Manusia, penarikan Fraksi ABRI
(termasuk Polri) dari DPR, perubahan doktrin, pelatihan dan tanda kepangkatan
Polri yang sebelumnya sama dengan TNI, dan lainnya. Reorganisasi Polri pasca
reformasi diatur dalam Perpres no. 52 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia.
Selain Kepolisian, pada masa Reformasi
juga banyak dibentuk lembaga baru yang bertugas untuk penegakan hukum dan
pembuatan kebijakan keamanan seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (2002), Badan Narkotika Nasional (2009), Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (2010), Badan Keamanan Laut (2014).
Perwira aktif Polri dapat menjabat dalam lembaga ini, baik menjadi penyidik,
pejabat struktural sampai pimpinan. Lembaga-lembaga ini nantinya berkoordinasi
dengan Polri sesuai tugas dan tanggungjawabnya.
Selain dari paradigma dan organisasi,
sampai saat ini polisi pun berbenah perlahan-lahan mendisiplinkan dan
meningkatkan integritas anggotanya. Mengingat pada masa reformasi tidak sedikit
anggota Kepolisian yang terungkap ke publik melanggar kode etik profesi bahkan
terjerat hukum seperti korupsi, suap, rekening gendut, narkoba, dll. Selain
kasus hukum, saling serang antara anggota Polri dan TNI dilapangan dan
ketegangan antar lembaga penegak hukum masih mewarnai perjalanan reformasi
Kepolisian.
Tugas dan Wewenang
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
1.
memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat;
2.
menegakkan
hukum; dan
3.
memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud,
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
1.
melaksanakan
pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan
pemerintah sesuai kebutuhan;
2.
menyelenggarakan
segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas
di jalan;
3.
membina
masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan;
4.
turut
serta dalam pembinaan hukum nasional;
5.
memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6.
melakukan
koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
7.
melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
8.
menyelenggarakan
identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
9.
melindungi
keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan
pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
10.
melayani
kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi
dan/atau pihak yang berwenang;
11.
memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian; serta
12.
melaksanakan
tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud
Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
1.
menerima
laporan dan/atau pengaduan;
2.
membantu
menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum;
3.
mencegah
dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4.
mengawasi
aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa;
5.
mengeluarkan
peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
6.
melaksanakan
pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;
7.
melakukan
tindakan pertama di tempat kejadian;
8.
mengambil
sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9.
mencari
keterangan dan barang bukti;
10.
menyelenggarakan
Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11.
mengeluarkan
surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan
masyarakat;
12.
memberikan
bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan
instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
13.
menerima
dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang :
1.
memberikan
izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
2.
menyelenggarakan
registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3.
memberikan
surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
4.
menerima
pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5.
memberikan
izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
6.
memberikan
izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa
pengamanan;
7.
memberikan
petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan
swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
8.
melakukan
kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan
internasional;
9.
melakukan
pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah
Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
10.
mewakili
pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
11.
melaksanakan
kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.