Konflik antara
perusahaan dan para buruh yang terjadi di PT. Tjiwi Kimia tidak hanya terjadi
kali ini saja. Sebelumnya, pada tahun 2012 juga pernah terjadi konflik antara
perusahaan dengan buruh yang disebabkan oleh adanya pemutusan hak kerja (PHK)
secara sepihak yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
Sebagai reaksi atas
pemutusan secara sepihak tersebut, para buruh kemudian melakukan demo untuk
menuntut hak kerja mereka. Pasca terjadinya demo tersebut, perusahaan tetap
tidak memenuhi tuntutan dari para buruh yang telah di PHK, total buruh yang di
PHK oleh Tjiwi Kimia pada saat itu berjumlah sebanyak 72 buruh terhitung sejak
bulan Februari hingga Maret 2014.
Dalam perjalanannya gerakan
buruh pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini), dapat
dilihat bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat
dilihat misalnya, meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa
regulasi mengenai perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang
relative rendah dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang
memadai.
Kehidupan buruh yang
selalu tertindas, juga tergambar pada konflik antara perusahaan dan buruh yang
terjadi di Tjiwi Kimia. Lebih jauh apabila dilihat konflik tersebut, pasca
terjadinya PHK di tahun 2012 lalu, saat ini buruh di Tjiwi Kimia juga mengalami
penindasan yang dilakukan oleh perusahaan. Salah satu bentuk penindasan yang
nampak adalah munculnya tenaga outsourcing yang dikontrak melalui mandor di
perusahaan tersebut.
Penggunaan tenaga
outsourcing pada perusahaan seringkali memicu reaksi keras dari kalangan
masyarakat. Outsourcing merupakan bentuk baru penindasan yang sebenarnya telah
lama muncul dalam dunia tenaga kerja. Munculnya kebijakan outsourcing di
Indonesia sendiri berawal dari disahkan oleh munculnya Undang-Undang No. 13
tahun 2003 tentang outsourcing.
Marx mengakui bahwa
konflik bersumber dari perubahan yang terjadi dalam Model produksi (mode of
production), komunis primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis.Model
produksi (mode of production) terdiri atas kekuatan produksi (forces of
production) dan hubungan/relasi produksi (relations of production).
Kekuatan produksi
meliputi sarana produksi (means of production) yaitu bahan mentah dan alat
produksi (instrument of production) atau sarana/alat produksi yang mengolah.
Kekuatan produksi
menghasilkan komoditas yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu, dan kekuatan
produksi ini akan menentukan bentuk hubungan/relasi produksi. Hanya ada dua
kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok yang memiliki/pemilik dan
kelompok yang tidak memiliki/bukan pemilik. Inilah yang oleh Marx disebut
struktur kelas.
Pemisahan antara
kelompok sosial yang menghasilkan profit – dan karenanya menguasai kapital- dan
kelompok sosial yang hanya mampu menjual tenaga kerja saja, menentukan hubungan
kelas, yang menjadi basis eksploitasi dan konflik sosial dalam masyarakat
modern. Di dalamnya menyangkut relasi sosial : pertama, hubungan-hubungan
produksi yang bersifat primer seperti hubungan buruh dan majikan; kedua,
hubungan-hubungan produktif yang bersifat sekunder seperti serikat buruh,
asosiasi pemilik modal dan pola-pola dasar kehidupan keluarga yang berkaitan
erat dengan sistem produksi kapitalistik; ketiga, hubungan-hubungan politik dan
sosial yang bersumber dari hubungan produksi primer dan sekunder,
lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang
mencerminkan hubungan buruh dan majikan.
Berbeda dengan
pandangan Marx, Dahrendorf melihat munculnya konflik yang terjadi di masyarakat
karena adanya perbedaan kewenangan. Kewenangan melekat pada setiap aktor
yang terdapat dalam konflik. Dahrendord melihat aktor yang sedang berkonflik,
akan memunculkan asosiasi yang saling berkonflik. Dalam setiap asosiasi,
terdapat dua kelompok dikotomis, yaitu kelompok yang menggunakan otoritas
(Superordinat) dan kelompok yang patuh atasnya (Subordinat).
Adanya perbedaan
kewenangan tersebut mengakibatkan munculnya konflik diantara kedua asosiasi.
Superordinat, akan selalu berusaha untuk mempertahankan status-quo yang
dimilikinya, sedangkan subordinat akan menentang atau melakukan perubahan.
Bagi Dahrendorf,
konflik hanya akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap
individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin
terlibat dalam konflik. Dahrendorf menyebutnya sebagai “integrated into a
common frame of a reference”.
Dalam kaitannya dengan
konflik dalam konteks wilayah sosial industri, Ralf Dahrendorf melalui buku
fenomenalnya mengenai Conflict and Industrial Conflict(1959)
memperlihatkan bagaimana konflik industrial terbangun melalui proses dari
ketidakpuasan individual buruh, menuju pada ketidakpuasaan kolektif yang tidak
teroganisir, dan sampai pada tingkat pengorganisasian ketidakpuasan kolektif
buruh dalam rangka perjuangan untuk mencapai tujuan.
Menurut Dahrendorf,
otoritas tidak konstan karena terletak pada posisi, bukan dalam diri orangnya,
sehingga seseorang yang berwenang dalam suatu lingkungan tertentu tidak harus
memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain, begitu pula orang yang
menempati posisi subordinat dalam suatu kelompok belum tentu subordinat pada
kelompok lain. Pendapat ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan
bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang disebut asosiasi yang
dikoordinasikan secara imperative atau dikenal dengan ICAs (Imperatively
Coordinated Associations).
Asosiasi yang
dikoordinasikan secara imperative (ICAs) terbangun dalam suatu proses
sosiologis yang spesifik dan sistematis dalam satu wilayah sosial. Pada awalnya
di dalam suatu wilayah sosial, seperti perusahaan, para buruh yang berada pada
posisi diatur dan disubordinasi (the ruled class) mulai mendapatkan kesadaran
bahwa posisi dan hak mereka tertindas. Walaupun demikian mereka belum mempunyai
dan membangun kepentingan melakukan perubahan posisi ketertindasan tersebut.
Mereka hanya memiliki
kepentingan (latent interest), yaitu berada di level individu, muncul di bawah
sadar. Kepentingan semu tidak hanya terbatas pada satu individu buruh, namun
tersebar pada mereka yang merasa ditindas sebagai kelompok subordinasi.
Sehingga menciptakan kelompok semu pula (quasi groups).
Kepentingan semu dari
kelompok semu pada gilirannya mulai mengalami aktualisasi secara kolektif
menuju menjadi kepentingan yang terwujudkan (manifest interest). Proses
penyadaran dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dulu mengerti kepentingan
yang harus diperjuangkan.
Mereka menciptakan
kelompok yang benar-benar sadar pada kepentingan bersama dan perlu
diperjuangkan. Proses ini menumbuhkan bentuk kesadaran pada kepentingan yang
nyata, yaitu lepas dari ketertindasan. Pada fase inilah terjadi proses
pembentukan kelompok terorganisir, kelompok kepentingan (interest groups),
(ICAs) yang siap melakukan gerakan perlawanan terhadap posisi dominan kelompok
teorganisir lainnya. Seperti kelompok terorganisir buruh terhadap kelompok
terorganisir pengusaha.
Resolusi dalam konflik
antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang,
kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem
sosial. Selanjutnya, sekelompok peran baru dalam memegang kunci kekuasaan dan
wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur.
Redistribusi kekuasaan
dan wewenang merupakan perlembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur
(ruling class) versus peranan yang diatur (rules class), yaitu dalam kondisi
khusus kontes perebutan wewnang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan
yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehingga kenyataan
sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam
bermacam-macam tipe konflik terkoordinasi dari sistem sosial
jelaskan Perubahab Terhadap Strategi dan
Taktis pada Perusahaan
Strategi perusahaan:
1. Membentuk suatu system informasi yang
terstruktur, agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi. Misalnya, dengan
membuat papan pengumungan atau pengumuman melalui loudspeaker.
2. Buat komunikasi dua arah antara
atasan dan bawahan menjadi lancer dan harmonis, misalnya dengan membuat rapat
rutin, karena dengan komunikasi yang dua arah dan intens akan mengurangi
masalah di lapangan
3. Beri pelatihan dalam hal komunikasi
kepada atasan dan karyawan, pelatihan akan
memberikan pengetahuan dan ilmu baru
bagi setiap individu dalam organisasi dan meminimalkan masalah dalam hal
komunikasi.
Taktik pada Perusahaan dengan
Menggunakan Teknik sebagai berikut :
1. Teknik
Gantt chart and Gantt Milestone chart
Teknik ini diperkenalkan oleh Henry L.
Gantt. Pada dasarnya pembuatan jadwal dilakukan dengan dua sumbu, yaitu sumbu
horizontal untuk menggambarkan kurun waktu dan sumbu vertical untuk
menggambarkan jenis kegiatan dan pelaksanaan. Langkah-langkah penyusunan Gantt
chart adalah :
a. Menentukan
tingkat kerincian kegiatan yang akan dimasukkan pada bagan.
b.
Mengidentifikasi urutan-urutan logis (dapat juga secara kronologis)
kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan.
c. Memperkirakan
waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian masing-masing kegiatan.
d. Membuat
konsep penjadwalan pada bagan.
e.
Mendiskusikan konsep tersebut dengan orang-orang yang akan terlibat dalam
pelaksanaan masing-masing kegiatan.
f.
Membuat bagan akhir yang lebih realistis dan telah disepakati oleh semua orang
yang terlibat.
g. Melakukan
revisi dan koreksi apabila perlu.
Kelebihan teknik ini adalah bahwa
rencana ini dapat dibuat secara sederhana, mudah menghitung waktu dan mencantumkan
dalam bagan, mudah dibaca, dan dapat langsung dipakai untuk pemantauan
kegiatan. Sedangkan kekurangan teknik ini adalah bahwa cara ini terlalu
sederhana jika proyeknya dianggap besar, perkiraan pencapaian kegiatan sulit
dilihat, kegiatan-kegitannya sulit digambarkan, indicator-indikator pada
kegiatan yang kritis sulit diketahui, hubungan antara kegiatan tidak terlihat,
sulit mengecek ketepatan pelaksanaannya, tidak mencerminkan distribbusi beban
dan biaya kegiatan, dan sulit diubah jika terjadi perkembangan-perkembangan
baru.
Teknik Gantt Milestone chart adalah
penjadwalan yang merupakan perbaikan dari Gantt chart, yaitu dengan menambahkan
kejadian penting atau tonggak ukuran (Milestone). Penambahan itu adalah adanya
kegiatan awal, kegiatan antara, dan kegiatan akhir. Kelebihannya kegiatan
kritis dapat diperllihatkan.
2. Teknik
PERT and NWP
PERT (Program Evaluation and Review
Technique) adalah teknik perencanaan yang dikembangkan oleh Booz, Allen, dan
Hamilton pada tahun 1958. Dalam teknik ini ada tiga hal penting yang
mendasarinya, yaitu Perencanaan, Pengorganisasian, dan Pengendalian. NWP
(Network Planning) adalah hasil dari pengembangan PERT. Kelebihan dari NWP
adalah memasukkan unsur keterangan kapan suatu kegiatan dimulai dan berakhir.
3. Teknik
PKT, PIP, dan APP
Teknik PKT (Pola Kerja Terpadu) adalah
teknik pemecahan masalah yang dilanjutkan dengan lankah perencanaan kerja
secara komprehensif yang dapat memberikan kepastian kegiatan dan tanggung
jawab, baik secara individual maupun kelompok dalam pelaksaan suatu kegiatan.
Proses analisisnya terdiri dari empat tahap, yaitu tahap penentuan masalah,
tahap pengembangan dan penetapan sasaran, tahap pengembangan dan pemilihan
alterbatif, serta tahap penyusunan rencana kerja terinci serta paket kerjanya.
Teknik PIP (Performance Improvement
Planning) adalah teknik perencanaan guna menentukan strategi serta
langkah-langkah kegiatan yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan perusahaan
melalui analisis terhadap kekuatan-kekuatan pendorong dan penghambat kinerja
perusahaan.
Teknik APP (Analisis Persoalan
Potensial) adalah teknik yang digunakan untuk mengamankan rencana atau program
yang telah disusun sedemikian rupa.